Selasa, 27 Juli 2021

Hidup sekali jangan sampai tak berarti

Hai kalian, hidup didunia ini hanya sekali, jadi jangan sampai tak berarti, semisal hidup hanya jadi pencuri, kasihan banget, sudah susah nyusahin orang, kasihan banget kan..🤣.

So,

Hidup sekali jangan sampai tak berarti

Senin, 04 Juli 2016

Kajian Solat jahriyyah (Keras) dan sirriyyah (Pelan)

Kajian Solat jahriyyah (Di baca Keras) dan sirriyyah (di baca Pelan). Shalat jahriyah atau Jahr adalah shalat yang bacaannya dikeraskan sedangkan shalat sirriyah atau sirr adalah shalat yang bacaannya dipelankan. Ruang lingkup dan batasan pembahasan masalah jahriyah dan sirriyah ini adalah sebagai berikut :

Yang dimaksud dengan bacaan di sini bukan semua bacaan dalam shalat melainkan adalah bacaan Al-Fatihah dan surat Al-Qur’an sesudah Al-Fatihah.Maksud dikeraskan bacaan atau dipelankan yang dibahas di sini adalah pada dua rakaat pertama, sedangkan untuk rakaat berikutnya (jika shalatnya lebih dari 2 rakaat) tidak masuk dalam pembahasan karena selalu dipelankan. Maksud dari dikeraskan bacaan atau dipelankan di sini adalah untuk imam ketika memimpin shalat berjamaah. Sedangkan untuk shalat munfarid (sendirian) maka boleh dikeraskan boleh dipelankan. Namun walaupun shalat sendirian disunnahkan untuk tetap mengeraskan bacaan pada shalat jahriyah dan memelankan pada shalat sirriyah.Shalat jahriyah tetap jahriyah dan shalat sirriyah tetap sirriyah walaupun dilaksanakan di waktu qodho (bukan pada waktunya karena tertidur atau terlupa). Jadi yang menjadi patokan bukan waktu nya (bukan pula gelap dan terangnya matahari atau cuaca).Tidak ada perbedaan pendapat mengenai dua hal di atas. Sedangkan untuk beberapa hal lainnya seperti bacaan “bismillah” dan ucapan “amin” setelah selesai membaca Al-Fatihah, serta doa qunut ada perbedaan pendapat dalam mengeraskan atau memelankannya.Tidak ada perbedaan pendapat antara para imam madzhab mengenai shalat fardhu yang jahriyah dan yang siriyah. Shalat-shalat yang dikeraskan bacaannya (jahriyah) pada shalat fardhu yaitu shalat subuh, maghrib dan isya. Sedangkan shalat yang dipelankan bacaannya pada shalat fardhu adalah shalat dzuhur dan ashar termasuk shalat jum’at.Timbul perbedaan dalam menetapkan shalat sunnah yang jahriyah dan sirriyah

Shalat Yang Jahriyah dan Shalat Yang Sirriyah ?

Tidak ada perbedaan pendapat antara para imam madzhab mengenai shalat fardhu yang jahriyah dan yang siriyah. Shalat-shalat yang dikeraskan bacaannya (jahriyah) pada shalat fardhu yaitu shalat subuh, maghrib dan isya.  Sedangkan shalat yang dipelankan bacaannya pada shalat fardhu adalah shalat dzuhur dan ashar termasuk shalat jum’at.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Al A’masy dari ‘Umarah dari Abu Ma’mar berkata, “Aku bertanya kepada Khabbab bin Al Arat, ‘Apakah Rasulullah s.a.w. membaca surah dalam shalat Zhuhur dan ‘Ashar? ‘ Dia menjawab, “Ya.” Kami tanyakan lagi, “Bagaimana kalian bisa mengetahui bacaan Beliau?” Dia menjawab, “Dari gerakan jenggot Beliau.” (H.R. Bukhari No. 719)

Pada hadits di atas dapat kita lihat bahwa dalam shalat dzuhur dan ashar, Rasululullah s.a.w. tidak mengeraskan bacaannya terbukti bahwa sahabat mengetahui beliau membaca sesuatu atau tidak dari gerakan jenggot dan bukan dari suara beliau. Ini menunjukkan shalat dzuhur dan ashar adalah sirriyah.

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Hisyam bin Ammar keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Az Zuhri dari Ubaidullah bin Abdullah dari Ibnu Abbas dari Ibunya -Abu Bakr bin Abu Syaibah mengatakan bahwa ia adalah Lubabah- bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah s.a.w. dalam shalat maghrib membaca WAL MURSALAATI ‘URFA. ” (H.R. Ibnu Majah No. 823) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.

Pada hadits di atas, sahabat mengetahui surat yang dibaca Rasulullah s.a.w pada saat shalat marghrib menunjukkan bahwa shalat maghrib itu dikeraskan bacannya (jahriyah).

Telah menceritakan kepada kami Khallad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Mis’ar berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Adi bin Tsabit bahwa dia mendengan Al Bara berkata, “Aku mendengar Nabi s.a.w. membaca ‘WAT TIINI WAZ ZAITUUN’ pada shalat ‘Isya. Dan belum pernah aku mendengar seseorang yang suaranya atau bacaan lebih baik dari beliau.” (H.R.  Bukhari No. 727)

Pada hadits di atas, sahabat mengetahui surat yang dibaca Rasulullah s.a.w pada saat shalat isya menunjukkan bahwa shalat isya itu dikeraskan bacannya (jahriyah).

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Syarik dan Sufyan bin Uyainah dari Ziyad bin Ilaqah dari Qutaibah bin Malik ia mendengar Nabi s.a.w. dalam shalat subuh membaca; ” (dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun). ” (H.R. Ibnu Majah No. 808)

Telah mengabarkan kepada kami Abu Nu’aim telah menceritakan kepada kami Al Mas’udi dari Al Walid bin Sari’ dari ‘Amru bin Huraits, bahwa ia mendengar Rasulullah s.a.w. pada shalat Subuh membaca: IDZASY SYAMSU KUWWIRAT kemudian setelah sampai pada ayat WALLAILI IDZAA ‘AS’AS(H.R. Darimi No. 1266)

Pada hadits di atas, sahabat mengetahui surat yang dibaca Rasulullah s.a.w pada saat shalat subuh menunjukkan bahwa shalat subuh itu dikeraskan bacannya (jahriyah).

Jahriyah dan Sirriyah Pada Shalat Sunnah

Adapun untuk shalat-shalat sunnah ada perbedaan pendapat di kalangan imam madzhab.

Madzhab Hanafi berpendapat wajib membaca dengan suara keras bagi imam ketika shalat taraweh dan witir di bulan ramadhan, ‘idul fitri, ‘idul adha. Sedangkan pada shalat rawatib, shalat gerhana matahari, istisqo dan shalat sunnah lain yang dilakukan siang hari, madzhab Hanafi menyatakan wajib bagi imam maupun munfarid (shalat sendirian) untuk memelankan bacaan (sirriyah).

Madzhab Maliki berpendapat sunnah membaca dengan keras pada setiap shalat  sunnah yang dilaksanakan malam hari dan membaca pelan pada shalat sunnah yang dilaksanakan suang hari, kecuali shalat-shalat sunnah yang diikuti dengan khutbah seperti shalat ‘idul fitri, ‘idul adha, dan shalat istisqo. Maka untuk shalat sunnah rawatib, shalat gerhana matahari, dhuha, shalat tahiyatul majid, shalat syukur wudlu, shalat jenazah  dan shalat-shalat sunnah lain yang dilakukan ketika siang hari disunnahkan dilakukan secara sirriyah.

Madzhab Hambali (Imam Ahmad bin Hambal) berpendapat sunnah mengeraskan suara saat shalat ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha, shalat istisqo, shalat gerhana matahari, taraweh dan witir di bulan ramadhan. Adapun shalat sunnah lainnya walupun dilaksanakan secara berjamaah disunnahkan membaca dengan suara pelan. Sedangkan orang yang shalat munfarid boleh memilih jahriyah atau sirriyah.

Madzhab Syafi’i berpendapat disunnahkan membaca dengan suara keras (jahriyah) pada shalat ‘idul fitri, ‘idul adha, gerhana bulan, istisqo, tarawih dan witir di bulan ramadhan dan shalat sunnah dua rakaat setelah tawaf dan shalat sunnah lain yang dilaksanakan di waktu malam maupun subuh. Sedangkan shalat sunnah lainnya dibaca dengan suara pelan (sirriyah) misal shalat dhuha, shalat gerhana matahari, shalat hajat, shalat tahiyatul masjid, shalat syukur wudlu, shalat jenazah, shalat tasbih dll.

Dari pendapat para imam madzhab di atas ada sedikit tinjauan terhadap pendapat Imam Hanafi ini dimana ada hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah s.a.w. mengeraskan bacaan dalam shalat istisqo :

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi’b dari Az Zuhri dari ‘Abbad bin Tamim dari Pamannya berkata, “Nabi s.a.w. pernah keluar untuk melaksanakan shalat istisqa’, beliau lalu berdoa dengan menghadap ke arah kiblat sambil membalikkan kain selendangnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat dua rakaat dengan mengeraskan bacaannya pada kedua rakaat itu.” (H.R. Bukhari No. 968)

Catatan : Imam Hanafi sendiri memandang shalat istisqo itu tidak ada. Apa yang dilakukan Rasulullah s.a.w. dulu ketika memohon datangnya hujan dianggap sebagai shalat hajat yang disertai dengan permohonan datanganya hujan, Namun beliau adalah generasi tabi’in (generasi setelah sahabat) sehingga kita menghormati pandangan dan pendapat beliau sebagai generasi yang masih dekat dengan mata air ilmu dari Rasulullah s.a.w.

Dan begitu pula dalam shalat gerhana Rasulullah s.a.w. mengeraskan bacaannya. Namun di sini ada perbedaan penafsiran apakah keseluruhan shalat gerhana? Sedangkan ada yang berpendapat shalat gerhana matahari dipelankan sedangkan shalat gerhana bulan dikeraskan

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mihran berkata, telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Namir, dia mendengar Ibnu Syihab dari ‘Urwah dari ‘Aisyah r.ah.  “Nabi s.a.w. mengeraskan bacaan dalam shalat gerhana”.  (H.R. Bukhari No. 1004)

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Aban telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Shadaqah dari Sufyan bin Husain dari Az Zuhri dari ‘Urwah dari ‘Aisyahbahwasannya Nabi s.a.w. shalat gerhana matahari dengan mengeraskan bacaannya. (H.R. Tirmidzi No. 516)

Telah menceritakan kepada kami Abdush Shomad telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Katsir berkata; Telah menceritakan kepada kami Az-Zuhri dari Urwah dari Aisyah bahwasanya dia berkata : “Pada masa Nabi s.a.w.. pernah terjadi gerhana matahari, lalu Nabi s.a.w.. mendatangi tempat shalat, kemudian beliau bertakbir dan manusia pun (ikut) bertakbir, lalu beliau membaca dan mengeraskan bacaannya.” (H.R. Ahmad No. 23333)

Pada hadits di atas, Rasulullah s.a.w. tetap mengeraskan bacaannya (jahriyah) pada peristiwa shalat gerhana matahari walaupun dilaksanakan siang hari. Maka pendapat madzhab Maliki yang menyatakan bahwa jahriyah dan sirriyah pada shalat sunnah itu adalah mengikuti keadaan waktu siang atau malam, tidaklah tepat. Demikian pula shalat gerhana tidak diikuti dengan khutbah walaupun kadang Rasulullah s.a.w. sedikit memberikan tausiyah mengenai peristiwa gerhana tersebut. Namun shalatnya tetap dikeraskan (jahriyah).

Sedangkan pendapat bahwa jika shalat sendiri tetap mengeraskan bacaan jika shalatnya adalah shalah jahriyah berdasarkan penafsiran shahabat berikut ini :

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Nafi’, bahwa apabila Abdullah bin Umar tertinggal dari imam pada beberapa rakaat yang dikeraskan bacaannya, maka ketika imam salam, dia berdiri dan membaca sendiri pada rakaat yang tertinggal dengan membacanya agak keras.” (Atsar R. Imam Malik dalam Al-Muwatha’ No. 166)

Pada atsar di atas Abdullah bin Umar melanjutkan rakaatnya sendirian namun tetap membacanya dengan keras (jahriyah) karena shalatnya memang shalat jahriyah.

Masalah Jahriyah Sirriyah Sunnah Atau Wajib?

Imam Malik, Ahmad bin Hambal dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa masalah men-jahr-kan (mengeras) kan bacaan atau memelankan bacaan adalah perkara sunnah. Artinya jika mengeraskan bacaan yang seharusnya sirriyah atau memelankan bacaan yang seharusnya jahriyah adalah tidak mengapa dan shalatnya tetap sah.

Dalam beberapa hadits kita jumpai bahwa terkadang dalam shalat dzuhur atau ashar yang seharusnya dipelankan.

Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Abu Qatadah dia berkata; telah menceritakan kepada kami Bapakku bahwa Rasulullah s.a.w. membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) dan dua surat pada dua rakaat pertama shalat Zhuhur dan Ashar. Kadang beliau memperdengarkan ayat kepada kami dan memperpanjang rakaat pertama. (H.R. Nasa’i No. 965)

Dalam hadits di atas menunjukkan sekali waktu (kadang-kadang) bacaan dalam shalat Dzuhur dan Ashar pun boleh dikeraskan oleh Rasulullah s.a.w.

Dalam hadits lain juga diceritakan bahwa dalam shalaty dzuhur Rasulullah s.a.w.mengeraskan bacaan shalat dan menegur sahabat lain yang ikut membaca dengan suara keras karena menyaingi dengan suara imam

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid Ath Thayalisi telah menceritakan kepada kami Syu’bah. Dan telah di riwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir Al ‘Abdi telah mengabarkan kepada kami Syu’bah sedangkan ma’na haditsnya dari Qatadah dari Zurarah dari ‘Imran bin Hushainbahwa Nabi s.a.w. menunaikan shalat Dluhur, tiba-tiba seorang laki-laki datang sambil membaca “Sabbihisma rabbikal a’la.” di belakang beliau, ketika selesai shalat, beliau bersabda: “Siapakah tadi yang membaca (surat)?” para sahabat menjawab; “Laki-laki ini.” beliau bersabda: “Sungguh aku telah mengetahui, bahwa sebagian dari kalian telah mengalahkan bacaanku.” (H.R. Abu Daud No. 704) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits tersebut shahih.

Sementara ketika shalat sunnah rawatib di malam hari Rasulullah s.a.w. mengeraskan bacaannya terbukti para sahabat mengetahui surat apa yang dibaca Rasulullah s.a.w.

Telah menceritakan kepada kami ‘Ashim bin Bahdalah dari Zir dan Abu Wa`il dari Abdullah bin Mas’ud berkata, “Nabi s.a.w. selalu membaca di dua rakaat setelah maghrib QUL YAA AYYUHAL KAAFIRUUN (Katakanlah: “Hai orang-orang kafir) dan QUL HUWA ALLAHU AHAD (Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa). ” (H.R. Ibnu Majah No. 1156)

Sedangkan dalam hadits lain disebutkan bahwa dalam shalat malam Rasulullah s.a.w. terkadang mengeraskan dan terkadang memelankan bacaan :

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ibrahim bin Shudran dia berkata; Telah mengabarkan kepada kami Salm bin Qutaibah dia berkata; Telah mengabarkan kepada kami Hasyim bin Al Barid dari Abu Ishaq dari Abu Bara’ dia berkata; “Kami shalat zhuhur di belakang Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, kemudian kami mendengar satu ayat setelah beberapa ayat dari surat Luqman dan Adzariyat.”Demikian pula dalam shalat sunnah, terkadang Rasulullah s.a.w. mengeraskan bacaan dan terkadang memelankan bacaan dan ini adalah sebuah kelapangan (keluwesan) dalam Islam sebagaimana dinyatakan oleh ‘Aisyah r.ah. istri Rasulullah s.a.w.  (H.R. Nasa’i No. 961)

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Mu’awiyah bin Shalih dari Abdullah bin Abu Qais dia berkata : “Saya bertanya kepada ‘Aisyah, bagaimanakah bacaan Nabi s.a.w. pada waktu shalat malam, apakah beliau memelankan ataukah mengeraskan bacaannya? Dia menjawab, itu semua pernah dilakukan oleh beliau, terkadang beliau memelankan bacaannya dan terkadang pula beliau mengeraskan bacaannya. Saya (Abu Qais) berkata, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kelapangan dalam perkara ini. (H.R. Tirmidzi No. 411) Abu Isa berkata, bahwa hadits ini hasan shahih gharib. Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.

Dari hadits di atas Imam al-Nawawi menjelaskan : “Dan adapun sabda Nabi saw : ‘Dan ayat yang beliau baca itu kadang-kadang beliau memperdengarkan kepada kami‘, ini bisa jadi bahwasanya Nabi SAW bermaksud untuk memberikan penjelasan atas diperbolehkannya bacaan keras (jahriyah) diwaktu shalat yang seharusnya pelan (sirriyah), dan bahwa bacaan pelan itu bukan syarat sahnya shalat, namun itu hukumnya sunnah.” (Syarah Muslim Jilid 4 hal 175)

Ibnu Hajar Asqolani menjelaskan hadits dai Abu Bara’ di atas berkata : “hadits di atas dijadikan dalil dibolehkannya mengeraskan baaan pada shalat yang sirriyah dan tidak diperintahkan sujud sahwi bagi yang melakukannya (berarti hal itu bukan sebuah kesalahan) hal ini berbeda dengan pendapat Madzhab Hanafi yang menjelaskan kebolehannya (mengeraskan shalat sirriyah) hanya jika untuk tujuan memberikan pengajaran dan juga bagi yang berpendapat bahwa memelankan bacaan adalah syarat sahnya shalat sirriyah” (Fathul Bari Jilid 4 hal. 484)

Bahkan dalam suatu hadits Rasulullah s.a.w. mengkritik orang yang shalat di waktu malam dengan mengeraskan bacaannya karena beliau tahu orang tersebut melakukannya karena riya’ (pamer ingin dipuji karena bacaannya bagus) tapi Rasulullah s.a.w. memuji orang lain yang melakukannya karena ikhlash

Telah menceritakan kepada kami Waki’ telah mengabarkan kepada kami Hisyam bin Sa’d dari Zaid bin Aslam dari Ibnu Al Adra’ ia berkata : “ Pada suatu malam, saya pernah menjaga Nabi s.a.w. . kemudian beliau pun keluar untuk suatu keperluan. Beliau menggandeng tanganku dan kami pun pergi. Kemudian kami melewati seorang laki-laki yang sedang shalat dengan mengeraskan bacaan Alqur`annya, maka Nabi s.a.w.  bersabda: “Boleh jadi ia melakukannya karena riya`.” Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah ia shalat dengan mengeraskan bacaan Al-Qur`annya?(karena memang shalat jahriyah)” Beliau pun melepaskan tanganku kemudian bersabda: “Kalian tidak akan meraih Islam ini dengan cara mendebatku (karena beliau lebih tahu apa yang terjadi).” Pada suatu malam, beliau keluar lagi untuk suatu keperluan. Saat itu, saya sedang menjaganya. Beliau kemudian menggandeng tanganku kemudian pergi dan melewati seorang laki-laki yang sedang shalat dengan membaca Al Qur`an, dan saya pun berkata, “Boleh jadi ia melakukannya karena riya`.” Kemudian Nabi s.a.w. bersabda: “Tidak, bahkan ia adalah seorang yang banyak bertaubat dan kembali kepada Allah.” Saya menolehnya, dan ternyata ia adalah Abdullah Dzul Bijadain.” (H.R. Ahmad No. 18203)

Dengan kata lain, hadits di atas mengatakan bahwa suatu ketika mengeraskan  bacaan pada shalat yang jahriyah bisa jadi adalah terlarang atau dibenci jika dilakukan karena riya’ (pamer).

Shalat Jahriyah Untuk Wanita

Imam Syafi’i berpendapat wanita yang shalat jahriyah (jika jadi imam bagi wanita) tetap bersuara keras jika tidak ada jamaah laki-laki di dekatnya,  walaupun demikian keras suaranya harus di bawah suara laki-laki (tidak sekeras laki-laki).

Shalat Jahriyah Dan Sirriyah Ketika Safar

Ibnu Hajar Asqolani mengatakan bahwa mengenai bacaan imam sewaktu safar tidak ada perincian mengenai hal ini (yaitu apakah tetap jahriyah dan sirriyah). Namun dalam sebuah hadits nampaknya ada isyarat bahwa dalam keadaan safar pun kondisi shalat jahriyah dan sirriyah tetap diberlakukan :

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Adi berkata, “Aku mendengar Al Bara’, bahwa Nabi s.a.w. ketika safar (bepergian) pada shalat ‘Isya membaca pada salah satu dari dua rakaatnya dengan ‘WAT TIINI WAZ ZAITUUN’.” (H.R. Bukhari No. 725)

Sahabat mengetahui apa surat yang dibaca menunjukkan bahwa shalat tersebut dikeraskan bacaannya.

Mengapa Ada Yang Jahriyah Dan Ada Yang Sirriyah

Jika ditanya kenapa? Bisa saja kita mencari hikmah.. seperti mencari hikmah gerakan shalat. Kita juga bisa mencari hikmah kenapa babi diharamkan.. namun itu semua bersifat zhonniy (dugaan) manusia dan tidak mutlak kebenarannya walaupun juga tidak mutlak salah. Artinya masing-masing orang bisa berpendapat berbeda. Maka tidak ada keterangan yang pasti mengapa shalat ini dan itu dilakukan secarajahriyah dan yang lain sirriyah kecuakku hak itu semata perintah dari Allah kepada beliau s.a.w. sedangkan kita mengikuti Rasulullah s.a.w. karena dikatakan bahwa beliau adalah suri teladan yang terbaik. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam hadits berikut :

Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Isma’il berkata, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas berkata, “Nabi s.a.w. membaca (dengan suara dikeraskan) sesuai apa yang diperintahkan dan juga diam (tidak mengeraskan) sesuai apa yang diperintahkan ‘(Dan tidaklah Rabbmu lupa) ‘ (Q.S. Maryam: 64). ‘(Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu) ‘ (Q.S. Al-Ahzab: 21).(H.R. Bukhari No. 732)

Maka yang terbaik adalah menerima apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah s.a.w. walaupun hal itu tidak merupakan kewajiban dan tidak mengapa jika ditinggalkan

Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ibnu Abi Laila dari ‘Atha` dari Abu Hurairah, dia berkata : “Rasulullah s.a.w. mengimami kami dalam shalat, kadang beliau mengeraskan bacaan dan kadang tanpa suara, maka kami mengeraskan apa yang Rasulullah keraskan dan kami baca tanpa suara apa-apa yang Rasulullah baca tanpa suara “ (H.R. Ahmad No. 7730)

Wallahua”lam
Sumber : https://seteteshidayah.wordpress.com/2013/08/17/shalat-jahriyah-dan-sirriyah/

Minggu, 03 Juli 2016

Ukuran Mud untuk Fidyah Puasa

Fidyah (Tebusan) Bagi yang Tak Dapat Berpuasa. Dalam bahasa Arab kata “fidyah” adalah bentuk masdar dari kata dasar “fadaa”, yang artinya mengganti atau menebus. Adapun secara terminologis (istilah) fidyah adalah sejumlah harta benda dalam kadar tertentu yang wajib diberikan kepada fakir miskin sebagai ganti suatu ibadah yang telah ditinggalkan.

Misalnya, fidyah yang diberikan akibat ditinggalkannya puasa Ramadhan oleh orang lanjut usia yang tidak mampu melaksanakannya, atau oleh keluarga orang yang belum sempat meng-qadha atau mengganti puasa yang ditinggalkannya (menurut sebagian ulama). Dengan memberikan fidyah tersebut, gugurlah suatu kewajiban yang telah ditinggalkannya.<>

Bagi wanita yang tidak bepuasa karena hamil atau menyusui maka ia diperkenankan untuk tidak berpuasa. Jika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap dirinya sendiri atau pada diri dan bayinya maka ia hanya wajib mengganti puasanya setelah bulan Ramadhan dan tidak ada kewajiban membayar fidyah. Jika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap anak atau bayinya saja maka ia wajib meng-qadha dan membayar fidyah sekaligus.

Berapakah Besarnya Fidyah? Untuk dapat mengetahui berapa besar fidyah bagi tiap orang miskin yang harus diberi makan tersebut, dapat dilihat pada beberapa nash hadits yang digunakan sebagai rujukan:

Dalam hadits riwayat Daruquthniy dari Ali bin Abi Thalib dan dari Ayyub bin Suwaid, menyatakan perintah Rasulullah SAW kepada seorang lelaki yang melakukan jima' atau berhubungan badan dengan istrinya di suatu siang di bulan Ramadhan untuk melaksanakan kaffarat atau denda berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Dalam hadits menyebutkan bahwa karena laki-laki tersebut tidak mampu melakukan itu maka ia harus membayar denda 1 araq (sekeranjang) berisi 15 sha' kurma. 1 Sha'  terdiri dari 4 mud, sehingga kurma yang diterima oleh lelaki itu sebanyak 60 mud, untuk diberikan kepada 60 orang miskin (untuk menggantu puasa dua bulan). Sedangkan 1 mud sama dengan 0,6 Kg atau 3/4 Liter.

Oleh sebab itu, besamya fidyah yang biasa diberikan kepada fakir miskin sekarang ini adalah 1 mud = 0,6 Kg atau 3/4 liter beras untuk satu hari puasa.

Berbagai pendapat lain yang juga menyatakan besarnya fidyah –dengan menggunakan sebuah nash hadits sebagai rujukan– kami anggap lemah. Lantaran hadits yang digunakannya telah dinilai oleh Muhhadditsin (para penyelidik hadits) sebagai hadits dha'if. Sedangkan yang menggunakan dasar qiyas (analogi) pun, kami anggap lemah lantaran bertentangan dengan nash hadits.

Beberapa pendapat lain tentang besamya fidyah tersebut yakni; 1) pendapat yang menyatakan bahwa besarnya fidyah itu sebesar 2,8 Kg bahan makanan pokok, beras misalnya. Dimana pendapat ini didasarkan pada hadits riwayat Abu Dawud dari Salmah bin Shakhr, yang menyatakan bahwa dalam peristiwa seorang lelaki berbuat jima' pada siang hari di bulan Ramadhan, Rasulullah SAW menyuruh lelaki itu untuk memberikan 1 wasaq kurma, dimana 1 wasaq terdiri dari 60 sha, sehingga setiap orang miskin akan mendapatkan kurma sebanyak 1 sha.

2) pendapat yang menyata­kan bahwa besamya fidyah tersebut sebanyak 1/2 sha bahan makanan pokok, dengan dasar hadits riwayat Ahmad dari Abu Zaid Al Madany, yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kepada seorang lelaki yang berbuat dzihar (menyamakan isteri dengan ibunya) untuk memberikan 1/2 wasaq kurma kepada 60 orang miskin, dan

3) pendapat yang menyatakan bahwa besarnya fidyah itu sama dengan fidyah atas orang yang bercukur ketika sedang ihram, yakni sebesar 1/2 sha atau 2 mud.

Tiga pendapat itu dinilai lemah. Dalil-dalil yang kuat menunjukkan besarnya fidyah yang biasa diberikan kepada fakir miskin sekarang ini adalah 1 mud atau 0,6 Kg atau 3/4 liter beras untuk satu hari puasa.

Bolehkah Fidyah dengan Uang?

Fidyah adalah pengganti dari suatu ibadah yang telah ditinggalkan, berupa sejumlah makanan yang diberikan kepada fakir miskin.

Dengan mengamati definisi dan tujuan fidyah yang merupakan santunan kepada orang-orang miskin, maka boleh saja memberikan fidyah dalam bentuk uang. Lantaran bagaimana jika orang miskin tersebut, sudah cukup memiliki bahan makanan. Bukankah lebih baik memberikan fidyah dalam bentuk uang, agar dapat dipergunakannya untuk keperluan lain.

Oleh sebab itu, dapat diambil kesimpulan akhir bahwa kewajiban fidyah boleh dilaksanakan dengan mengganti uang, jika sekiranya lebih bermanfaat. Namun jika ada indikasi bahwa uang ter­sebut akan digunakan untuk foya-foya, maka kita wajib memberi­kannya dalam bent uk bahan makanan pokok.

Khoirul, NU Online | Selasa, 30 September 2008 07:15

KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Mas’ail PBNU
By : nu.or.id